Cinta Pertama



Pagi masih gelap, masih membuta, saat kurasakan kecupannya dikeningku, untuk membangunkan solat Shubuh.

Aku sangat mencintainya. Kesabarannya tiada tandingannya, dia juga mahir memanjakan amarahku. Inilah yang membuatku semakin cinta padanya. Rambutnya hitam, matanya demikian bening, sehingga aku bisa melihat urat-urat kecil di sana. Dan senyumannya, ah, itu adalah pemandangan terindah seumur hidupku.

Aku bertemu dengannya tanggal 08 Mei, saat itu aku melihat wajahnya penuh keringat, ada genangan air di matanya, rambutnya acak-acakan. Entah, ketika pertama jumpa itu aku merasa sangat terikat dengannya, ada rasa yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.

Sayangnya aku seperti sulit mengungkapkan rasa itu kepadanya, aku malu. Malah aku justru sering membuatnya kesal, memaki dirinya, yang semuanya itu dibalas dengan ketenangan dan kasih sayangnya. Benar-benar gila rasaku dibuatnya.

Belakangan baru kusadari rasaku, cinta. Ya, aku mencintainya, tapi aku enggan mengungkapkannya. Untuk apa pikirku, tanpa kuungkap pun ia sudah menyayangi dan mencintaiku bukan? Biar saja aku nikamati belaiannya, tanpa harus dia tahu bahwa aku pun punya rasa yang sama.

Hari mulai senja kala aku dan dia berbincang bersama, tentang cita-cita, masa depan, tapi aku seperti malas melakukannya. Dia terlalu banyak berpetuah, seolah aku bodoh. Aku banting gelas berisi teh manis, aku tidak terima dengan omongannya, tahu apa dia?

Hingga ramadhan-pun tiba, aku masih enggan bicara dengannya, obrolan senja itu seperti melukaiku. Sampai ketika dia menegurku, aku hanya menjawabnya acuh tak acuh, kutepikan tangannya kala menyentuh bahuku. Aku tak butuh itu, ucapku padanya. Dengan senyum teduhnya ia berbisik lembut, mengucapkan salam perpisahan.

Kini aku seperti orang gila, menangis sendiri karena dia. Ada sesal yang menggumpal hebat di dada, kenapa aku tak memaafkannya, kemudian mengatakan bahwa akupun mencintainya, bahkan lebih dari dia mencintaiku. Tapi semua sudah terlambat. Dia sudah meninggalkan aku.

Hari mulai malam, aku masih tak bisa berhenti menangis, terus mengusap pusara-nya, membelai batu nisan di atasnya. ‘Tuhan, kembalikan dia, aku tak dapat hidup tanpa dia,’ rutuh hatiku.

Ayah, maafkan anakmu, aku tak bermaksud menyakitimu. Aku tahu ini terlambat, tapi ijinkan aku mengucapkan ini, aku ingin engkau tau rasaku selama ini, yang selalu kusembunyikan darimu.

Ayah…Aku sangat mencintaimu.