@yaysuh |
Entah sudah berapa ratus ribu hari sejak pertama kali kita bertemu. Tepat di tengah jalan kota besar itu aku tengah menunggu sebuah pelukan yang kau janjikan. Peluk yang amat aku tunggu, karena kala itu aku lupa rasanya dipeluk. Di jalan kendaraan berlalu lalang udara dipenuhi suara klakson dan asap dari pantat kenalpot. Lalu kamu datang dengan membawa pelukan.
Kamu memperkenalkan diri dengan senyumanmu yang merekah, lalu aku tersenyum dengan pipi sedikit memerah, kamu memberi pelukan tepat di tengah jalanan kota, nyaris semua kendaran berhenti, sebagian pengemudi tersenyum sebagian lagi mengumpat.
Kamu telah berhasil menumbuhkan senyum dan hangat di dadaku, sebagai gantinya aku rela meminjamkan kedua pasang telinga untuk segala rasa. Katamu ini masih terlalu baru, lalu kamu bilang kita tidak perlu terlalu terburu-buru.
Sebab pelukmu, seiring waktu aku mulai bisa melangkah dengan benar. Kamu juga mulai sering memamerkan senyum lebar-lebar. Meski kita masih saja sering menelan pahit bulat-bulat. Kita juga kerap meneguk sedih tanpa suara. Walau ternyata memiliki teman bicara sepertimu selalu mampu minghilangkan rasa sengsara.
Kita sama-sama belajar bahwa sendiri tidak lebih baik dari pada bersama, meski kenyataanya kita terkadang satu sama lain tidak benar-benar ada.
Tetapi kali ini pelukmu tidak tampak lagi, meski demikian aku tetap bisa berjalan dengan benar. Mereka benar tentang menerima kekalahan dan mulai berjalan ke depan. Karena ternyata kebahagian kita yang ciptakan, tidak mesti datangnya dari luar. Tapi mungkin saja kamu mendapatkan akhir yang berbeda, karena semua orang tidak sama. Jadi jangan takut untuk memulai lagi sebuah cerita.
Akhirnya aku tahu bahwa yang aku butuhkan bukan sebuah pelukan yang menghangatkan dada sesaat, walaupun sangat menyenangkan dan melegakan. Ternyata aku lebih senang berdiri di tengah jalan sendiri. mengobrol dengan klakson dan asap.
#2016Menulis
Comments
Post a Comment