By @yaysuh |
Kehilangan itu menyakitkan, sedihku tak patut terpublikasikan.
Usia hubungan kita melebihi usia hubunganku dengan kekasihku, sungguh sebenarnya tetap kau kekasih wanitaku.
Bertahun-tahun aku mengenalmu terlebih dahulu sebelum aku mengenal dia, aku sadari keseharianku dengannya membuatku perlahan terjauh darimu.
Ku akui sungguh ku tak kuasa, walau sebenarnya keduanya kugenggam. Dia memberikanku apa yang tak pernah kudapat dari seseorang yang namanya lelaki, dia membuat aku pertama kali percaya pada cinta, dia menaklukanku. Sedang kau memberiku apa yang sebelumnya juga tak pernah kudapat dari arti persahabatan, kau berhasil merubahku, kau mengisiku dengan penuh pengaruh positifmu, kau sabar, ikhlas serta tulus. Banyak hal yang tidak mampu aku balas, banyak hal yang tak mampu tak kukenang.
Kalain berdua telah melengkapiku.
Namun lama-lama garis jelas hubungan kita menjadi putus-putus, lalu perlahan semakin memudar.
Awal perjumpaan, sebenarnya kita tak saling suka, bertahun-tahun berada di satu atribut sekolah yang sama meski berbeda atap kelas, hingga bangku SMP lah yang menyatukan kita. Awalnya aku tahu kau tak memiliki niat untuk kita bersatu, karena kita bak air dan api. Aku api dan kau airnya. Tuhan berkata lain, Dia meletakan kita di dalam satu rencana, kita duduk satu bangku. aku masih dengan keegoisanku sedangkan kau dengan penuh kedewasaanmu. Cukup lama waktu penyatuan kita terjadi, jatuh bangun kita lalui, mulai disaat aku sudah begitu menyayangimu sebagai seorang sahabat, kita diadu domba dengan fitnah lesbian, hingga kita begitu karib, seperti saudara satu rahim.
Pergi sholat ke MDM, diperjalanan selalu meminta permohonan pada liontin, agar tidak padam lampu dan tidak turun hujan, kita seperti dipermainkan liontin, dan polosnya kita mempercayainya.
Memakai baju sobek bersamaan
Ulang tahun diberi cokelat
Bersalaman dimalam takbiran dengan mushola sebagai saksinya, ah begitu haru rasanya saat itu.
Kau dan aku satu, aku begitu mudah cemburu sebagai seorang sahabat. Kau pembaca cerita hidupku, kau orang pertama ada dikala aku berduka, begitu pun dikala suka. Semua berlangsung hingga semakin tinggi jenjang pendidikan. Hingga disaat aku mengenalnya, cintaku kepadamu dan kepadanya sama.
Sejak itu waktuku banyak tersita olehnya, kita jadi sedikit bicara, sedikit bercanda, semua menjadi tertutup, aku tau kau marah dan kesal. Tapi aku tahu kau selalu memaafkanku.
Sudah berjuta-juta maaf terucap, mungkin hingga kau bosan dan tak akan pernah lagi menginginkan aku menyapamu.
Kau tahu, aku kerap cemburu, kedekatanmu dengan banyak orang membuatku takut posisiku akan tergeser. Namun apa daya aku pun tak pernah bisa membuatmu bahagia, dan tak pernah memiliki waktu lagi untuk kita mengukir kenangan untuk diingat. Aku sadar diri, aku hanya bisa cemburu.
Aku telah bersalah, begitu bersalah. Aku harus menelan pahitnya kenyataan, kini aku kehilangan bagian terpenting dalam kehidupanku, aku kehilangan sosok penerang hati. Sosok sahabat yang telah mengurat, mengakar dan begitu sakit ketika tercabut.
Maafkan aku, mungkin aku tak lagi pantas kau sebut sahabat, aku hanya bisa memantau kebahagianmu lewat sahabat barumu sekarang, yang lebih bisa leluasa mengukir kenangan indah bersamamu, yang tak pernah menyakitimu sepertiku. Kini harus kuterima konsekuensi dari semua perbuatanku. Kau tetap tak tergantikan.
Apakah masih aku satu-satunya sahabat baikmu? yang selalu kau butuhkan untuk bertahan dan berbagi suka duka ? masihkah ?
Catatan : NN
Comments
Post a Comment